Cara terbaik untuk melindungi orang utan adalah dengan terus melindungi habitatnya, agar orang utan tetap sejahtera hidup di dalam hutan dan tidak terjadi konflik dengan manusia. Ancaman nyata yang dihadapi orang utan adalah konversi hutan dan kebakaran hutan. Tentu saja ancaman tersebut perlu diwaspadai dan segera ditangani sesegera mungkin. Perlindungan habitat mutlak harus dilakukan demi mencegah orang utan dari kepunahan. Hilangnya habitat merupakan ancaman terbesar kepunahan orang utan yang harus diantisipasi. Upaya yang bisa dilakukan agar orang utan tetap terjaga kelestariannya adalah dengan menjaga habitatnya, karena seperti ketahui bersama bahwa perkembangbiakan orang utan memang lamban jika dibandingkan dengan manusia.
Salah satu upaya yang dilakukan oleh OF-UK Indonesia dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Tengah untuk turut menjaga kelestarian orang utan dan habitatnya adalah melalui program restorasi yang dilakukan di Suaka Margasatwa Lamandau (SML). Program yang dijalankan sejak tahun 2015, sampai dengan saat ini luas area penanaman adalah 103,30 Ha. Area penanaman terletak di empat site di SML, yaitu Pos Danau Burung, Pos Perapat, Pos Vigilant Howe dan Pos Sungai Pasir. Kegiatan ini juga melibatkan masyarakat yang tinggal di sekitar wilayah SML. Masyarakat membantu proses restorasi mulai dari awal sampai dengan akhir, seperti mencari bibit cabutan, pemeliharaan tanaman, proses penyulaman serta penanaman di area tanam. Jumlah bibit yang telah ditanam dari tahun 2015 sampai dengan saat ini 137.858 bibit.
Pada bulan Agustus lalu, tim restorasi melakukan perawatan bibit di persemaian. Perawatan bibit yang dilakukan berupa penyiraman, pembersihan bedengan, pemantauan hama dan penyakit. Sejak dicabut dari hutan terdekat, umur bibit di persemaian memasuki enam bulan. Menurut Supervisor Reforestasi OF-UK Indonesia, Meydina, bibit di persemaian sudah mencapai tinggi target, yaitu minimal 70 cm. Pertumbuhan bibit paling baik terlihat pada jenis Ubar. Sedangkan Belangiran dan Pelawan memiliki pertumbuhan yang cukup lambat di persemaian. “Hampir semua bibit sudah mencapai pertumbuhan tinggi yang mencapai kriteria siap tanam,” Imbuh Meydina. Bulan lalu juga tim restorasi melakukan pemesanan eco-polybag (eco-bag) kepada masyarakat desa sekitar SML sebanyak 21.000 eco-bag. Sebagian besar eco-bag tersebut akan digunakan untuk menambah atau menggandakan ecobag yang telah dipakai sebagai wadah sejak awal pembibitan. Sementara sebagian eco-bag dari jumlah tersebut akan digunakan untuk mengganti wadah bibit yang sebelumnya menggunakan polybag plastik. Penggunaan eco-bag dalam kegiatan restorasi merupakan salah satu langkah dalam mengurangi penggunaan polybag plastik (konvensional). Eco-bag yang dibuat dari anyaman daun nipah ini diharapkan dapat mengurangi limbah plastik saat proses pembibitan dan penanaman di alam yang dapat mencemari dan membahayakan lingkungan. Penggunaan eco-bag juga diharapkan dapat meningkatkan tingkat hidup bibit tanaman, karena dapat langsung ditanam tanpa membongkar media tanamnya. Selain itu, penggunaan eco-bag dalam kegiatan restorasi menjadi salah satu kesempatan pelibatan masyarakat, sekaligus memberikan peluang dalam menciptakan alternatif pendapatan dari pemanfaatan hasil hutan bukan kayu.